Rabu, 09 Juli 2008

Di Saat Genting...

Bekerja itu seperti orang berdagang di pasar. Ada masa ramai, ada masa sepi. Kalau pas lagi ramai, maka kalang kabutlah kita dibuatnya. Tapi kalau lagi sepi, anda bisa ongkang-ongkang kaki sambil browsing internet atau chatting.

Di saat sepi pekerjaan mungkin tidak ada masalah. Paling kalau anda tertangkap basah lagi tidur oleh bos, baru jadi masalah. Setidaknya malu. Tapi secara umum, it's fine lah. Masalahnya baru muncul pada saat pekerjaan rame. Dan ini sangat-sangat sering terjadi. Pekerjaan datang bak air bah. Jadinya hobi chatting terpaksa ditinggal.

Tidak, bukan itu maksudnya. Masalah itu datang jika pekerjaan bertumpuk. Mungkin karena memang anda tidak masuk kantor untuk beberapa hari. Alasannya bisa apa saja. Sakit, cuti, izin, dinas luar, bolos dan sebagainya. Atau mungkin juga karena bos yang memang memberi pekerjaan bertumpuk, tanpa memperhitungkan beban kerja yang sedang kita kerjakan. Atau memang kita-nya yang sedang nggak mood di  kantor (sering begitu kan?). Bahasa lainnya: malas kerja. Apapun.

Di saat seperti itu biasanya kita tidak tahu mau mulai dari mana. Dipegang yang satu, yang lain ketinggalan. Dipegang yang ini, yang itu keteteran. Mau nyuruh orang, nggak ada yang mau disuruh. (sesama staf gimana mau nyuruh?). Mau minta tolong, semua orang kelihatannya sibuk atau pura-pura sibuk. Akhirnya keriting sendiri.

Kata orang Barat every cloud has a silver light. Bahasa ibu kita Kartini-nya : Habis gelap terbitlah terang. Kalau kata Deddy Dores dulu : Mendung tak berarti hujan (Nggak nyambung). Nah, dalam kaitannya dengan tugas yang menumpuk, anggap saja ini sebagai ajang latihan dalam menuju ke kualitas pekerjaan yang lebih baik. Sekaligus ajang latihan menjadi manajer yang baik di kemudian hari.  Maksudnya, kalau belum bisa memenej pekerjaan, jangan berharap terlalu banyak untuk sukses dalam memenej manusia. Dengan motivasi diri yang seperti itu, langkah pertama sudah dimulai.

Langkah kedua adalah mulai mengorganisir pekerjaan berdasarkan tenggat waktunya. Kalau anda berkeinginan menyelesaikan semua dalam waktu yang bersamaan, silakan nikmati kebingungan anda. Tapi jika kita sudah punya target waktu yang jelas untuk masing-masing pekerjaan, kita akan lebih mudah mengambil keputusan dalam menentukan yang mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Yang tenggat waktu paling dekat, dikerjakan duluan.

Banyak juga karyawan yang terbalik memandang hal ini. Mereka seolah keukeuh terhadap jargon FIFO (First In First Out). Yang masuk lebih dulu, ditangani lebih dulu. Itu benar, sepanjang kondisi normal. Tapi kalau kondisinya sudah emergency, FIFO itu jangan dijadikan pegangan. Bisa saja tugas yang masuk terakhir harus selesai duluan.

Ada 3 hal yang dilatih dalam kondisi kisruh begini. Pertama, staying power. Daya tahan. Penggemar bola pasti tahu istilah ini. Jerman adalah tim yang dianggap punya staying power. Meski ketinggalan gol atau masih kondisi draw, mereka tetap konstan memainkan bola tanpa kelihatan putus asa. Kebanyakan akhirnya ya menang.

Kedua, kemampuan menentukan prioritas. Prioritas ditentukan berdasarkan urgensinya. Semakin urgen suatu tugas, semakin naik peringkatnya dalam urutan prioritas anda. Jadi prioritas paling atas adalah yang pertama harus diselesaikan. Menentukan prioritas ini juga gampang-gampang susah. Anda juga harus bisa memprediksi waktu yang dibutuhkan untuk menangani suatu jenis pekerjaan. Berarti pengalaman dan penguasaan materi pekerjaan adalah hal penting.

Ketiga, kemampuan membaca situasi dan menyesuaikan diri. Semakin genting kondisinya, anda juga harus menyesuaikan persneling anda. Kondisi genting berarti tidak ada istilah business as usual lagi. Kecepatan kerja harus cepat disesuaikan. Jangan santai pada saat persneling tinggi. Bisa ajrut-ajrutan jalannya. Sebaliknya jangan tancap gas pada persneling rendah. Meraung mesinnya. Begitulah.

Pesan moral : Untuk bisa menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk harus bisa bermain sepakbola dan menyetir mobil.

Rabu, 02 Juli 2008

Cek dan Ricek

Cek dan Ricek adalah judul sebuah infotainment yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV di tanah air kita Indonesia ini. Isinya melulu gosip para selebriti yang kadang-kadang terlalu dicari-cari dan nggak penting-penting amat untuk dikatahui oleh orang lain. Tapi anehnya selalu saja ada yang nonton. Mungkin karena nggak ada kerjaan lain aja.

Tapi posting ini tidak bermaksud membahas itu. Yang dimaksud adalah cek dan ricek dalam arti sebenarnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan sehari-hari di kantor. Sebab jika kita lupa melakukan cek dan ricek, akibatnya bisa berdampak panjang. Bisa juga pendek sih. Tergantung kepada seberapa besar dampak yang ditimbulkannya.

Saya pernah beberapa kali mengalami kesulitan akibat lalai melakukan cek dan ricek ini. Tapi dibilang lalai mungkin tidak juga. Mungkin lebih tepatnya : terlalu percaya kepada rekan kerja. Namun apapun namanya akibatnya ya sama saja: kelabakan.

Suatu kali dalam sebuah meeting dengan mitra kerja, saya yang baru masuk hari itu setelah beberapa hari keluar kota gelagapan. Ini karena data yang saya distribusikan dalam meeting itu, ternyata tidak 100 % akurat. Data itu disiapkan oleh rekan kerja atas permintaan saya pada hari saya berangkat keluar kota. Pagi menjelang meeting baru data itu saya pegang.

Yang menemukan ketidakakuratan itu siapa? Untungnya saya juga. (Orang Indonesia itu memang untung terus). Saya menemukannya pada saat saya mengecek data itu persis setelah data itu saya distribusikan. Kebayang kan betapa paniknya saya pada saat itu?

Saya berada dalam kebimbangan. Mendiamkan (untuk diperbaiki belakangan) atau berterus terang. Saya memutuskan untuk melihat arah jalannya meeting terlebih dahulu. Kalau memang meeting akan menghasilkan keputusan yang berkaitan dengan data itu, saya akan berterus terang dan memperbaikinya saat itu juga. Tapi kalau tidak, saya akan memperbaiki dan mendistribusi ulang data itu ke semua peserta meeting pada kesempatan pertama.

Ternyata memang data itu perlu. Jadi saya secara gentleman (hmmm..) berterus terang tentang kurang akuratnya data tersebut. Habis cerita? Iya. Tapi saya harus menahan malu (meskipun semua orang mengerti posisi saya pada saat itu) karena data sontoloyo itu. Kayak jadi orang yang nggak becus kerja, gitu.

Kali kedua adalah ketika saya mencocokkan data tim lapangan dan tim kerja di kantor pada saat dead line mendekat. Sebenarnya tugas tim kerja di kantor adalah mengkoordinir kerja tim lapangan. Harusnya tidak ada perbedaan data. Dan memang sebelumnya semua berjalan baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah. Tapi entah kenapa hari itu saya berniat mericek kedua data itu. Ooops, ternyata ada perbedaan. Memang tidak signifikan, tapi tetap tidak bisa ditolerir. Untuk yang satu ini (untung) karena masih dalam jadwal, bisa segera diperbaiki. Untung lagi…

Yah, begitulah. Cek dan ricek bukan cuma di TV. Tapi juga di kantor.

Pesan moral dari cerita ini : Menonton acara Cek dan Ricek itu perlu. Terutama untuk mengingatkan kita pada pekerjaan di kantor.

Selasa, 01 Juli 2008

Last Minute Man

Minggu ini saya mendapat satu lagi tambahan pengalaman yang berharga. Ya, berharga sekaligus memalukan.

Untuk suatu keperluan kantor, saya dan seorang teman berangkat ke Palembang. Dari kota saya kami harus transit di Jakarta. Semuanya sudah diatur dengan sebaik-baiknya. Tiket sudah ditangan dengan waktu yang cukup untuk transit. Ini karena tiket yang kami pegang bukan connecting ticket. (Alasan teman saya yang membeli tiket ‘kalau connect lama nunggunya di Cengkareng’). Jadilah tiket kami dari maskapai yang berbeda. Ini artinya kalau ada apa-apa menjadi resiko kami. Tapi dengan kalkulasi yang cukup matang, kami yakin tidak akan ketinggalan pesawat Jakarta – Palembang.

Jam 08.00. Saya sudah sampai di kantor. Dengan jadwal take off jam 09.55, itu adalah waktu yang pas untuk berangkat ke bandara. Ini karena kota saya adalah kota yang tidak sepadat Jakarta lalulintasnya. Tapi ternyata teman saya yang hendak sama-sama berangkat itu belum kelihatan batang hidungnya. Saya mendesah. Karena saya tahu dia adalah orang dengan tipe yang bergerak pada last minute. (Itu bahasa kerennya. Bahasa pasarannya: lelet). Kalau semua berjalan sesuai rencana ya tidak apa-apa. Tapi kalau ada faktor X, buyar semua.

Jam 08.15 dia baru nongol. Saya pikir akan langsung berangkat. Ternyata dia masih grasa-grusu di mejanya. Begitu saya ingatkan jadwal take-off, dia bilang “Oya. Santai aja. Jalan ndak macet ini. Stengah jam sampai bandara kok.” Mendengar omongan yang demikian, saya berniat memberinya pelajaran. Saya akan menunggu sampai kapan dia baru mulai bergerak. Saya tidak akan memberi warning lagi. Begitu juga pada jam 08.30 dia ngomong mau ke rumah orangtuanya sebentar (meskipun rumah orangtuanya dekat kantor, tapi ya ampuuun….,kebayang nggak? Kenapa nggak dari tadi-tadi?) saya tetap meng-iya-kan.

09.10 dia baru muncul lagi. Kami langsung berangkat. Dengan sedikit ngebut sambil zigzag, kami tiba di bandara jam 09.45. Itu berarti 10 menit sebelum take-off. Dengan berlari kami masuk dan menuju counter untuk check-in. Tapi apa lacur, pintu pesawat sudah ditutup. Bukan itu saja, seat-nya juga sudah dijual oleh maskapai tersebut. Mereka beralasan sudah menelpon untuk konfirmasi, tapi tidak diangkat. (Tentu saja saya komplain. Tapi belakangan teman saya itu mengaku kalau memang dia di telpon, tapi karena nomernya nggak kenal, dia nggak angkat!).

Huah! Gondok campur senang saya. Karena niat saya memberi pelajaran kepada teman saya itu berhasil. Karena itu saya tidak melanjutkan komplain saya. Apalagi mereka berjanji akan memindahkan kami ke penerbangan berikutnya.

Namun masalah lain muncul. Karena saat ini musim liburan, semua penerbangan hari itu penuh! Ditambah lagi pada hari itu sebagian besar yang berangkat adalah rombongan pramuka dari seluruh kabupaten yang akan mengikuti acara Raimuna (semacam Jambore) di Cibubur, maka tipis harapan ada yang membatalkan keberangkatan. Itu artinya juga tipis harapan kami untuk berangkat pada hari itu.

Saya segera menyuruh teman saya ini untuk membatalkan penerbangan Jakarta – Palembang yang berangkat jam 16.00 itu. Pada mulanya dia agak enggan (karena tipenya yang last minute itu mungkin). Tapi karena saya beralasan hampir tidak mungkin mendapatkan flight siang terutama melihat banyaknya rombongan pramuka yang datang bagai air bah, akhirnya dia mau juga menelpon agen perjalanan kami. Hilang uang 50 % dari harga tiket.

Kami terus menunggu. Menunggu sambil berburu. Setiap ada pesawat datang kami segera berlari ke counter tiket menanyakan kalau ada seat kosong. Sebuah perburuan yang sia-sia. Karena ternyata yang masuk daftar tunggu sudah jauh lebih panjang. Hampir tidak mungkin.

Jam 14.30. Secercah harapan muncul. Staf maskapai penerbangan kami menyampaikan bahwa kami bisa ikut flight jam 18.55. Namun kabar buruknya adalah kami harus menambah biaya 50 % dari harga tiket. Kabar lebih buruknya adalah harga tiket tambahan itu dihitung berdasarkan harga terkini. Harga terkini itu 1 ½ kali tiket yang kami pegang! Wohoho….

Namun mengingat pentingnya acara yang harus dihadiri, kami harus membeli tiket itu. Prinsipnya adalah sampai di Jakarta dulu. Setelah itu baru dipikirkan tiket ke Palembang. Kami tiba di Jakarta jam 21.30.

Akhirnya memang esok harinya jam 13.00 kami sampai di Palembang setelah menginap di Jakarta dan berjuang lagi mencari tiket. Terlambat? Sudah pasti. Tapi itulah pesawat yang tersedia. Lagi-lagi peak season jadi alasannya. Harganya tiketnya? Ya harga liburan dong! Mahal, maksudnya….

Capek badan dan pikiran sudah pasti. Rugi waktu dan rugi uang. Tapi yang saya maksud memalukan di awal tulisan ini adalah pada saat kita nunggu di bandara dari jam 10 pagi sampai jam 7 malam. Masak ditinggal pesawat di kota sendiri? Malu sama diri sendiri. Lebih malu lagi pada setiap orang yang nanya. Memang sebuah pelajaran yang mahal..

Pesan moral cerita ini: Kalau anda datang terlambat, pesawat pasti on schedule alias nggak delay.