Minggu ini saya mendapat satu lagi tambahan pengalaman yang berharga. Ya, berharga sekaligus memalukan.
Untuk suatu keperluan kantor, saya dan seorang teman berangkat ke Palembang. Dari kota saya kami harus transit di Jakarta. Semuanya sudah diatur dengan sebaik-baiknya. Tiket sudah ditangan dengan waktu yang cukup untuk transit. Ini karena tiket yang kami pegang bukan connecting ticket. (Alasan teman saya yang membeli tiket ‘kalau connect lama nunggunya di Cengkareng’). Jadilah tiket kami dari maskapai yang berbeda. Ini artinya kalau ada apa-apa menjadi resiko kami. Tapi dengan kalkulasi yang cukup matang, kami yakin tidak akan ketinggalan pesawat Jakarta – Palembang.
Jam 08.00. Saya sudah sampai di kantor. Dengan jadwal take off jam 09.55, itu adalah waktu yang pas untuk berangkat ke bandara. Ini karena kota saya adalah kota yang tidak sepadat Jakarta lalulintasnya. Tapi ternyata teman saya yang hendak sama-sama berangkat itu belum kelihatan batang hidungnya. Saya mendesah. Karena saya tahu dia adalah orang dengan tipe yang bergerak pada last minute. (Itu bahasa kerennya. Bahasa pasarannya: lelet). Kalau semua berjalan sesuai rencana ya tidak apa-apa. Tapi kalau ada faktor X, buyar semua.
Jam 08.15 dia baru nongol. Saya pikir akan langsung berangkat. Ternyata dia masih grasa-grusu di mejanya. Begitu saya ingatkan jadwal take-off, dia bilang “Oya. Santai aja. Jalan ndak macet ini. Stengah jam sampai bandara kok.” Mendengar omongan yang demikian, saya berniat memberinya pelajaran. Saya akan menunggu sampai kapan dia baru mulai bergerak. Saya tidak akan memberi warning lagi. Begitu juga pada jam 08.30 dia ngomong mau ke rumah orangtuanya sebentar (meskipun rumah orangtuanya dekat kantor, tapi ya ampuuun….,kebayang nggak? Kenapa nggak dari tadi-tadi?) saya tetap meng-iya-kan.
09.10 dia baru muncul lagi. Kami langsung berangkat. Dengan sedikit ngebut sambil zigzag, kami tiba di bandara jam 09.45. Itu berarti 10 menit sebelum take-off. Dengan berlari kami masuk dan menuju counter untuk check-in. Tapi apa lacur, pintu pesawat sudah ditutup. Bukan itu saja, seat-nya juga sudah dijual oleh maskapai tersebut. Mereka beralasan sudah menelpon untuk konfirmasi, tapi tidak diangkat. (Tentu saja saya komplain. Tapi belakangan teman saya itu mengaku kalau memang dia di telpon, tapi karena nomernya nggak kenal, dia nggak angkat!).
Huah! Gondok campur senang saya. Karena niat saya memberi pelajaran kepada teman saya itu berhasil. Karena itu saya tidak melanjutkan komplain saya. Apalagi mereka berjanji akan memindahkan kami ke penerbangan berikutnya.
Namun masalah lain muncul. Karena saat ini musim liburan, semua penerbangan hari itu penuh! Ditambah lagi pada hari itu sebagian besar yang berangkat adalah rombongan pramuka dari seluruh kabupaten yang akan mengikuti acara Raimuna (semacam Jambore) di Cibubur, maka tipis harapan ada yang membatalkan keberangkatan. Itu artinya juga tipis harapan kami untuk berangkat pada hari itu.
Saya segera menyuruh teman saya ini untuk membatalkan penerbangan Jakarta – Palembang yang berangkat jam 16.00 itu. Pada mulanya dia agak enggan (karena tipenya yang last minute itu mungkin). Tapi karena saya beralasan hampir tidak mungkin mendapatkan flight siang terutama melihat banyaknya rombongan pramuka yang datang bagai air bah, akhirnya dia mau juga menelpon agen perjalanan kami. Hilang uang 50 % dari harga tiket.
Kami terus menunggu. Menunggu sambil berburu. Setiap ada pesawat datang kami segera berlari ke counter tiket menanyakan kalau ada seat kosong. Sebuah perburuan yang sia-sia. Karena ternyata yang masuk daftar tunggu sudah jauh lebih panjang. Hampir tidak mungkin.
Jam 14.30. Secercah harapan muncul. Staf maskapai penerbangan kami menyampaikan bahwa kami bisa ikut flight jam 18.55. Namun kabar buruknya adalah kami harus menambah biaya 50 % dari harga tiket. Kabar lebih buruknya adalah harga tiket tambahan itu dihitung berdasarkan harga terkini. Harga terkini itu 1 ½ kali tiket yang kami pegang! Wohoho….
Namun mengingat pentingnya acara yang harus dihadiri, kami harus membeli tiket itu. Prinsipnya adalah sampai di Jakarta dulu. Setelah itu baru dipikirkan tiket ke Palembang. Kami tiba di Jakarta jam 21.30.
Akhirnya memang esok harinya jam 13.00 kami sampai di Palembang setelah menginap di Jakarta dan berjuang lagi mencari tiket. Terlambat? Sudah pasti. Tapi itulah pesawat yang tersedia. Lagi-lagi peak season jadi alasannya. Harganya tiketnya? Ya harga liburan dong! Mahal, maksudnya….
Capek badan dan pikiran sudah pasti. Rugi waktu dan rugi uang. Tapi yang saya maksud memalukan di awal tulisan ini adalah pada saat kita nunggu di bandara dari jam 10 pagi sampai jam 7 malam. Masak ditinggal pesawat di kota sendiri? Malu sama diri sendiri. Lebih malu lagi pada setiap orang yang nanya. Memang sebuah pelajaran yang mahal..
Pesan moral cerita ini: Kalau anda datang terlambat, pesawat pasti on schedule alias nggak delay.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar