Di kantor saya ada seorang sopir. Namanya pak Z. Dulu sekali ia adalah sopirnya big boss. Waktu itu semua orang segan (atau takut?) padanya. Hal ini karena sebagai sopir big boss tentu aksesnya langsung ke sang majikan. Jadi ngomong di dekatnya harus hati-hati, kalau tidak ingin sang big boss tahu apa yang anda bicarakan. Pada saat itu, pak Z ini merasa posisinya hanya sedikit di bawah sang bos. Semua hal dikomentarinya. Orang terpaksa diam bukan karena takut padanya, tapi takut kepada majikannya.
Namun hujan tak sepanjang hari. Sang big boss lengser. Karena big boss baru tidak mau memakainya, maka jabatannya sebagai sopir orang nomor satu di kantor itu ikut lengser. Jadilah ia seorang sopir mobil kantor biasa saja. Namun sifat ingin tahu urusan orang lainnya tidak ikut lengser. Malah bertambah-tambah. Semua hal dikomentari dan dinilai dengan kata kunci “kalau dulu..”. Kalau dulu begini, kalau dulu begitu, kalau dulu begini begitu dan seterusnya.
Suatu hari ia ditugaskan untuk pergi ke lapangan bersama beberapa orang staf lain. Sebagaimana lazimnya kalau ada tim yang berangkat ke lapangan, pasti ada seseorang yang ditunjuk sebagai koordinator. Seorang koordinator disamping bertugas mengkoordinir kelancaran pelaksanaan lapangan, juga sekaligus mengendalikan biaya operasional di lapangan. Pada saat itu koordinator tim ditunjuk seorang staf dengan latar belakang pendidikan dan jabatan yang sesuai dengan kebutuhan lapangan.
Mungkin karena merasa bahwa koordinator yang ditunjuk jauh lebih junior dibandingkan dengan dirinya, pak Z protes kepada atasannya. Ia memang tidak serta merta memperlihatkan ketidaksenangannya, tetapi ia selalu memulai kalimat protesnya dengan kata saktinya,”Kalau dulu…..”
Namun pada intinya si atasan dapat membaca kalau pak Z ini merasa lebih berhak memegang kendali tim itu. Ia merasa dilangkahi oleh seorang anak ‘kemaren sore’. Ia merasa jauh lebih berpengalaman. Yang dia tidak sadari sebenarnya adalah bahwa pengalamannya selama ini hanyalah sebagai sopir. Sebatas itulah tanggung jawab yang pernah diembannya. Jelas tidak mungkin memberinya tanggung jawab untuk suatu hal yang berkaitan dengan teknis. Sekalipun dia adalah mantan sopir big bos dengan pengalaman menyetir mobil selama puluhan tahun, dalam hal ini si junior yang baru bekerja beberapa bulan jauh lebih pantas.
Akibatnya bisa diduga, pak Z diultimatum untuk menentukan posisinya –tetap di dalam tim atau tidak. Kalau ingin tetap di tim, silakan ikut aturan main, tapi kalau tidak silakan mengundurkan diri untuk ditunjuk sopir lain sebagai pengganti. Esok harinya pada saat tim itu berangkat, si atasan mendapat kabar bahwa pak Z ternyata ikut berangkat. Menyerah dia rupanya.
Sehubungan dengan itu, ada sebuah kisah klasik Melayu tentang seekor katak yang ingin menjadi sebesar lembu. Bagi anda yang tidak tahu apa itu lembu, lembu adalah sapi. Saking ingin bertubuh besar seperti lembu, si katak menghirup udara dalam-dalam dan menggelembungkan dadanya. Ia tidak sadar kapasitas tubuhnya yang kecil. Akibatnya bukan badan besar yang didapat, tapi kematian. Perutnya pecah!
Pesan moral dari cerita ini: kalau ingin punya badan besar seperti lembu, jangan hanya menggelembungkan dada. Pergilah ke fitness dan makan yang banyak. Usaha!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar