Rabu, 11 Juni 2008

Senioritas...


Suatu hari seorang karyawan memasuki ruang kerja saya sambil memegang sebuah amplop. Sekilas saya tahu bahwa amplop yang dipegangnya itu adalah amplop berisi uang insentif, karena baru beberapa menit yang lalu saya menyuruh seorang karyawan -yang terbilang masih junior- untuk membagikan amplop itu. Di tiap amplop sudah saya beri nama sehingga tidak mungkin rasanya akan salah alamat. Amplop itu juga saya lem sendiri, hingga hanya saya yang tahu berapa isi masing-masing amplop.

"Pak, saya dikasih si X (katakan nama karyawan junior itu) amplop ini. Katanya dari Bapak,"katanya memulai pembicaraan.
"Benar. Saya yang menyuruh si X untuk membagikan amplop itu."
"Apa ini, Pak?"katanya lagi.
"Proyek kita kemaren beruntung. Jadi ini semacam insentif untuk karyawan,"kata saya menjelaskan.
"Kalau gitu saya ndak usah nerima aja pak," katanya sambil setengah menghempaskan amplop itu di meja saya. "Saya kan ndak terlibat di proyek itu."

Terus terang saya kaget. Kok ada orang yang menolak dikasi duit. Apalagi setahu saya selama ini dia tidak pernah begitu. Pasti ada sesuatu, batin saya. Otak saya sudah mulai menganalisa dan mencari kemungkinan-kemungkinan penyebabnya.

"Lho, gini. Memang kamu ndak ikut. Tapi insentif ini saya bagi ke seluruh karyawan di divisi kita. Porsinya tentu ndak sama antara yang ikut langsung dengan yang ndak. Biar semua merasakan, gitu. Jadi ndak masalah," saya coba jelaskan kembali.
"Bapak memberinya lewat si X, ndak langsung ke saya. Jadi ndak usahlah pak!" katanya sambil berdiri lalu berjalan meninggalkan ruang saya.

Saya tersentak. Terus terang saya tersinggung. Saya merasa ini orang kok sombong sekali sebagai manusia. Sudah diberi tanpa meminta, menolak dengan cara yang kasar lagi.
Kalau mengikuti naluri sebagai manusia, saya ingin mengejarnya lalu berteriak di kupingnya soal kesombongan dan sikap tidak sopannya. Tapi sebagai orang yang membawahi sejumlah karyawan, saya sadar tindakan itu akan membuat suasana kantor tidak kondusif.

Saya menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Saya mencoba instropeksi. Apa saya yang salah? Nominalnya saya kira pantas untuk ukuran dia. Dia tidak ikut kerja (seperti diakuinya sendiri tadi). Jadi dia tidak berhak untuk meminta lebih. Kasarnya, diberi saja sudah syukur. Terus, dia juga menyinggung kok tidak saya berikan langsung, tetapi dititip lewat si X. Saya kira dengan siapapun saya titip, selama amplop itu tersegel rapat, apa salahnya? Si kurir tidak mungkin berani memanipulasi, apalagi sudah ada nama masing-masing tertera di tiap amplop. Amplop itu tetap dari saya meskipun saya kirim lewat pos, misalnya. Si kurir (dalam hal ini si X) hanyalah pengantar saja.

Akhirnya saya keluar ruangan. Ternyata di luar seluruh karyawan sudah berbisik-bisik sambil memasang wajah tegang. Mereka rupanya sudah tahu tentang apa yang terjadi di dalam ruangan saya. Si X apalagi. Mukanya pucat. Dia mungkin merasa punya andil atas kejadian ini. Dia merasa mungkin akan saya panggil. Tapi nanti lah. Saya tahu dia tidak bersalah. Saya justru memanggil karyawan senior atasan langsung dari karyawan yang menemui saya tadi. Karena saya yakin si karyawan pasti berkonsultasi sebelum atau sesudah dia menemui saya.

Ternyata benar. Si karyawan rupanya sudah ngomel-ngomel kepada atasannya sejak ia menerima amplop dari si X. Dari sang atasan saya tahu bahwa memang dugaan saya tidak keliru. Alasannya menemui saya tadi memang ada dua. Pertama, sebagai karyawan senior dia tidak rela insentifnya sama atau lebih rendah dari karyawan junior. Terlepas dari si junior terlibat langsung dalam proyek ini. (Ini berarti dia menanya ke semua orang berapa jumlah insentifnya. Padahal maksud saya memberikan dalam amplop tertutup supaya tidak ada cemburu-cemburuan seperti itu). Kedua, dia merasa tidak pantas karyawan junior yang membagi insentif itu kepada karyawan senior. Dia merasa lebih berhak membagikannya.

Jadi jika saya simpulkan,pikiran karyawan tersebut adalah: senioritas diatas segalanya. Senior berhak mendapatkan lebih daripada junior. Dalam segala hal. Apa dan bagaimananya tidak penting. Yang penting hanya satu: senioritas!

Saya langsung teringat kepada sebuah anekdot yang pernah saya baca di sebuah majalah. Begini: Seorang bawahan protes kepada atasannya karena tidak pernah dipromosikan. Padahal ia sudah bekerja selama 20 tahun. Si boss menjawab,"Kamu memang sudah bekerja di sini selama 20 tahun. Tapi dalam pandangan saya kamu bukan seorang karyawan yang berpengalaman 20 tahun. Kamu adalah seorang karyawan dengan pengalaman 1 tahun yang diulang sebanyak 20 kali....."

Bagaimana akhir cerita saya? Setelah emosi berlalu dan pikiran jernih datang, si karyawan terlihat malu setiap berpapasan dengan saya. Mungkin dia sadar tindakannya terlalu berlebihan. Atau atasan dan rekan kerjanya berhasil memberikan pengertian kepadanya, saya tidak tahu. Sebagai atasan yang baik, tentu saya tetap bersikap seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa antara kami. Tapi saya jadi tahu bahwa dia adalah tipe karyawan dengan pengalaman 1 tahun yang diulang sekian kali.....

Pesan moral cerita ini: jangan pernah sekalipun anda menepuk dada sebagai yang paling senior di kantor, apalagi jika anda berbicara dengan atasan anda!

Tidak ada komentar: