Bekerja itu seperti orang berdagang di pasar. Ada masa ramai, ada masa sepi. Kalau pas lagi ramai, maka kalang kabutlah kita dibuatnya. Tapi kalau lagi sepi, anda bisa ongkang-ongkang kaki sambil browsing internet atau chatting.
Di saat sepi pekerjaan mungkin tidak ada masalah. Paling kalau anda tertangkap basah lagi tidur oleh bos, baru jadi masalah. Setidaknya malu. Tapi secara umum, it's fine lah. Masalahnya baru muncul pada saat pekerjaan rame. Dan ini sangat-sangat sering terjadi. Pekerjaan datang bak air bah. Jadinya hobi chatting terpaksa ditinggal.
Tidak, bukan itu maksudnya. Masalah itu datang jika pekerjaan bertumpuk. Mungkin karena memang anda tidak masuk kantor untuk beberapa hari. Alasannya bisa apa saja. Sakit, cuti, izin, dinas luar, bolos dan sebagainya. Atau mungkin juga karena bos yang memang memberi pekerjaan bertumpuk, tanpa memperhitungkan beban kerja yang sedang kita kerjakan. Atau memang kita-nya yang sedang nggak mood di kantor (sering begitu kan?). Bahasa lainnya: malas kerja. Apapun.
Di saat seperti itu biasanya kita tidak tahu mau mulai dari mana. Dipegang yang satu, yang lain ketinggalan. Dipegang yang ini, yang itu keteteran. Mau nyuruh orang, nggak ada yang mau disuruh. (sesama staf gimana mau nyuruh?). Mau minta tolong, semua orang kelihatannya sibuk atau pura-pura sibuk. Akhirnya keriting sendiri.
Kata orang Barat every cloud has a silver light. Bahasa ibu kita Kartini-nya : Habis gelap terbitlah terang. Kalau kata Deddy Dores dulu : Mendung tak berarti hujan (Nggak nyambung). Nah, dalam kaitannya dengan tugas yang menumpuk, anggap saja ini sebagai ajang latihan dalam menuju ke kualitas pekerjaan yang lebih baik. Sekaligus ajang latihan menjadi manajer yang baik di kemudian hari. Maksudnya, kalau belum bisa memenej pekerjaan, jangan berharap terlalu banyak untuk sukses dalam memenej manusia. Dengan motivasi diri yang seperti itu, langkah pertama sudah dimulai.
Langkah kedua adalah mulai mengorganisir pekerjaan berdasarkan tenggat waktunya. Kalau anda berkeinginan menyelesaikan semua dalam waktu yang bersamaan, silakan nikmati kebingungan anda. Tapi jika kita sudah punya target waktu yang jelas untuk masing-masing pekerjaan, kita akan lebih mudah mengambil keputusan dalam menentukan yang mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Yang tenggat waktu paling dekat, dikerjakan duluan.
Banyak juga karyawan yang terbalik memandang hal ini. Mereka seolah keukeuh terhadap jargon FIFO (First In First Out). Yang masuk lebih dulu, ditangani lebih dulu. Itu benar, sepanjang kondisi normal. Tapi kalau kondisinya sudah emergency, FIFO itu jangan dijadikan pegangan. Bisa saja tugas yang masuk terakhir harus selesai duluan.
Ada 3 hal yang dilatih dalam kondisi kisruh begini. Pertama, staying power. Daya tahan. Penggemar bola pasti tahu istilah ini. Jerman adalah tim yang dianggap punya staying power. Meski ketinggalan gol atau masih kondisi draw, mereka tetap konstan memainkan bola tanpa kelihatan putus asa. Kebanyakan akhirnya ya menang.
Kedua, kemampuan menentukan prioritas. Prioritas ditentukan berdasarkan urgensinya. Semakin urgen suatu tugas, semakin naik peringkatnya dalam urutan prioritas anda. Jadi prioritas paling atas adalah yang pertama harus diselesaikan. Menentukan prioritas ini juga gampang-gampang susah. Anda juga harus bisa memprediksi waktu yang dibutuhkan untuk menangani suatu jenis pekerjaan. Berarti pengalaman dan penguasaan materi pekerjaan adalah hal penting.
Ketiga, kemampuan membaca situasi dan menyesuaikan diri. Semakin genting kondisinya, anda juga harus menyesuaikan persneling anda. Kondisi genting berarti tidak ada istilah business as usual lagi. Kecepatan kerja harus cepat disesuaikan. Jangan santai pada saat persneling tinggi. Bisa ajrut-ajrutan jalannya. Sebaliknya jangan tancap gas pada persneling rendah. Meraung mesinnya. Begitulah.
Pesan moral : Untuk bisa menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk harus bisa bermain sepakbola dan menyetir mobil.
Rabu, 09 Juli 2008
Rabu, 02 Juli 2008
Cek dan Ricek
Cek dan Ricek adalah judul sebuah infotainment yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV di tanah air kita Indonesia ini. Isinya melulu gosip para selebriti yang kadang-kadang terlalu dicari-cari dan nggak penting-penting amat untuk dikatahui oleh orang lain. Tapi anehnya selalu saja ada yang nonton. Mungkin karena nggak ada kerjaan lain aja.
Tapi posting ini tidak bermaksud membahas itu. Yang dimaksud adalah cek dan ricek dalam arti sebenarnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan sehari-hari di kantor. Sebab jika kita lupa melakukan cek dan ricek, akibatnya bisa berdampak panjang. Bisa juga pendek sih. Tergantung kepada seberapa besar dampak yang ditimbulkannya.
Saya pernah beberapa kali mengalami kesulitan akibat lalai melakukan cek dan ricek ini. Tapi dibilang lalai mungkin tidak juga. Mungkin lebih tepatnya : terlalu percaya kepada rekan kerja. Namun apapun namanya akibatnya ya sama saja: kelabakan.
Suatu kali dalam sebuah meeting dengan mitra kerja, saya yang baru masuk hari itu setelah beberapa hari keluar kota gelagapan. Ini karena data yang saya distribusikan dalam meeting itu, ternyata tidak 100 % akurat. Data itu disiapkan oleh rekan kerja atas permintaan saya pada hari saya berangkat keluar kota. Pagi menjelang meeting baru data itu saya pegang.
Yang menemukan ketidakakuratan itu siapa? Untungnya saya juga. (Orang Indonesia itu memang untung terus). Saya menemukannya pada saat saya mengecek data itu persis setelah data itu saya distribusikan. Kebayang kan betapa paniknya saya pada saat itu?
Saya berada dalam kebimbangan. Mendiamkan (untuk diperbaiki belakangan) atau berterus terang. Saya memutuskan untuk melihat arah jalannya meeting terlebih dahulu. Kalau memang meeting akan menghasilkan keputusan yang berkaitan dengan data itu, saya akan berterus terang dan memperbaikinya saat itu juga. Tapi kalau tidak, saya akan memperbaiki dan mendistribusi ulang data itu ke semua peserta meeting pada kesempatan pertama.
Ternyata memang data itu perlu. Jadi saya secara gentleman (hmmm..) berterus terang tentang kurang akuratnya data tersebut. Habis cerita? Iya. Tapi saya harus menahan malu (meskipun semua orang mengerti posisi saya pada saat itu) karena data sontoloyo itu. Kayak jadi orang yang nggak becus kerja, gitu.
Kali kedua adalah ketika saya mencocokkan data tim lapangan dan tim kerja di kantor pada saat dead line mendekat. Sebenarnya tugas tim kerja di kantor adalah mengkoordinir kerja tim lapangan. Harusnya tidak ada perbedaan data. Dan memang sebelumnya semua berjalan baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah. Tapi entah kenapa hari itu saya berniat mericek kedua data itu. Ooops, ternyata ada perbedaan. Memang tidak signifikan, tapi tetap tidak bisa ditolerir. Untuk yang satu ini (untung) karena masih dalam jadwal, bisa segera diperbaiki. Untung lagi…
Yah, begitulah. Cek dan ricek bukan cuma di TV. Tapi juga di kantor.
Pesan moral dari cerita ini : Menonton acara Cek dan Ricek itu perlu. Terutama untuk mengingatkan kita pada pekerjaan di kantor.
Tapi posting ini tidak bermaksud membahas itu. Yang dimaksud adalah cek dan ricek dalam arti sebenarnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan sehari-hari di kantor. Sebab jika kita lupa melakukan cek dan ricek, akibatnya bisa berdampak panjang. Bisa juga pendek sih. Tergantung kepada seberapa besar dampak yang ditimbulkannya.
Saya pernah beberapa kali mengalami kesulitan akibat lalai melakukan cek dan ricek ini. Tapi dibilang lalai mungkin tidak juga. Mungkin lebih tepatnya : terlalu percaya kepada rekan kerja. Namun apapun namanya akibatnya ya sama saja: kelabakan.
Suatu kali dalam sebuah meeting dengan mitra kerja, saya yang baru masuk hari itu setelah beberapa hari keluar kota gelagapan. Ini karena data yang saya distribusikan dalam meeting itu, ternyata tidak 100 % akurat. Data itu disiapkan oleh rekan kerja atas permintaan saya pada hari saya berangkat keluar kota. Pagi menjelang meeting baru data itu saya pegang.
Yang menemukan ketidakakuratan itu siapa? Untungnya saya juga. (Orang Indonesia itu memang untung terus). Saya menemukannya pada saat saya mengecek data itu persis setelah data itu saya distribusikan. Kebayang kan betapa paniknya saya pada saat itu?
Saya berada dalam kebimbangan. Mendiamkan (untuk diperbaiki belakangan) atau berterus terang. Saya memutuskan untuk melihat arah jalannya meeting terlebih dahulu. Kalau memang meeting akan menghasilkan keputusan yang berkaitan dengan data itu, saya akan berterus terang dan memperbaikinya saat itu juga. Tapi kalau tidak, saya akan memperbaiki dan mendistribusi ulang data itu ke semua peserta meeting pada kesempatan pertama.
Ternyata memang data itu perlu. Jadi saya secara gentleman (hmmm..) berterus terang tentang kurang akuratnya data tersebut. Habis cerita? Iya. Tapi saya harus menahan malu (meskipun semua orang mengerti posisi saya pada saat itu) karena data sontoloyo itu. Kayak jadi orang yang nggak becus kerja, gitu.
Kali kedua adalah ketika saya mencocokkan data tim lapangan dan tim kerja di kantor pada saat dead line mendekat. Sebenarnya tugas tim kerja di kantor adalah mengkoordinir kerja tim lapangan. Harusnya tidak ada perbedaan data. Dan memang sebelumnya semua berjalan baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah. Tapi entah kenapa hari itu saya berniat mericek kedua data itu. Ooops, ternyata ada perbedaan. Memang tidak signifikan, tapi tetap tidak bisa ditolerir. Untuk yang satu ini (untung) karena masih dalam jadwal, bisa segera diperbaiki. Untung lagi…
Yah, begitulah. Cek dan ricek bukan cuma di TV. Tapi juga di kantor.
Pesan moral dari cerita ini : Menonton acara Cek dan Ricek itu perlu. Terutama untuk mengingatkan kita pada pekerjaan di kantor.
Selasa, 01 Juli 2008
Last Minute Man
Minggu ini saya mendapat satu lagi tambahan pengalaman yang berharga. Ya, berharga sekaligus memalukan.
Untuk suatu keperluan kantor, saya dan seorang teman berangkat ke Palembang. Dari kota saya kami harus transit di Jakarta. Semuanya sudah diatur dengan sebaik-baiknya. Tiket sudah ditangan dengan waktu yang cukup untuk transit. Ini karena tiket yang kami pegang bukan connecting ticket. (Alasan teman saya yang membeli tiket ‘kalau connect lama nunggunya di Cengkareng’). Jadilah tiket kami dari maskapai yang berbeda. Ini artinya kalau ada apa-apa menjadi resiko kami. Tapi dengan kalkulasi yang cukup matang, kami yakin tidak akan ketinggalan pesawat Jakarta – Palembang.
Jam 08.00. Saya sudah sampai di kantor. Dengan jadwal take off jam 09.55, itu adalah waktu yang pas untuk berangkat ke bandara. Ini karena kota saya adalah kota yang tidak sepadat Jakarta lalulintasnya. Tapi ternyata teman saya yang hendak sama-sama berangkat itu belum kelihatan batang hidungnya. Saya mendesah. Karena saya tahu dia adalah orang dengan tipe yang bergerak pada last minute. (Itu bahasa kerennya. Bahasa pasarannya: lelet). Kalau semua berjalan sesuai rencana ya tidak apa-apa. Tapi kalau ada faktor X, buyar semua.
Jam 08.15 dia baru nongol. Saya pikir akan langsung berangkat. Ternyata dia masih grasa-grusu di mejanya. Begitu saya ingatkan jadwal take-off, dia bilang “Oya. Santai aja. Jalan ndak macet ini. Stengah jam sampai bandara kok.” Mendengar omongan yang demikian, saya berniat memberinya pelajaran. Saya akan menunggu sampai kapan dia baru mulai bergerak. Saya tidak akan memberi warning lagi. Begitu juga pada jam 08.30 dia ngomong mau ke rumah orangtuanya sebentar (meskipun rumah orangtuanya dekat kantor, tapi ya ampuuun….,kebayang nggak? Kenapa nggak dari tadi-tadi?) saya tetap meng-iya-kan.
09.10 dia baru muncul lagi. Kami langsung berangkat. Dengan sedikit ngebut sambil zigzag, kami tiba di bandara jam 09.45. Itu berarti 10 menit sebelum take-off. Dengan berlari kami masuk dan menuju counter untuk check-in. Tapi apa lacur, pintu pesawat sudah ditutup. Bukan itu saja, seat-nya juga sudah dijual oleh maskapai tersebut. Mereka beralasan sudah menelpon untuk konfirmasi, tapi tidak diangkat. (Tentu saja saya komplain. Tapi belakangan teman saya itu mengaku kalau memang dia di telpon, tapi karena nomernya nggak kenal, dia nggak angkat!).
Huah! Gondok campur senang saya. Karena niat saya memberi pelajaran kepada teman saya itu berhasil. Karena itu saya tidak melanjutkan komplain saya. Apalagi mereka berjanji akan memindahkan kami ke penerbangan berikutnya.
Namun masalah lain muncul. Karena saat ini musim liburan, semua penerbangan hari itu penuh! Ditambah lagi pada hari itu sebagian besar yang berangkat adalah rombongan pramuka dari seluruh kabupaten yang akan mengikuti acara Raimuna (semacam Jambore) di Cibubur, maka tipis harapan ada yang membatalkan keberangkatan. Itu artinya juga tipis harapan kami untuk berangkat pada hari itu.
Saya segera menyuruh teman saya ini untuk membatalkan penerbangan Jakarta – Palembang yang berangkat jam 16.00 itu. Pada mulanya dia agak enggan (karena tipenya yang last minute itu mungkin). Tapi karena saya beralasan hampir tidak mungkin mendapatkan flight siang terutama melihat banyaknya rombongan pramuka yang datang bagai air bah, akhirnya dia mau juga menelpon agen perjalanan kami. Hilang uang 50 % dari harga tiket.
Kami terus menunggu. Menunggu sambil berburu. Setiap ada pesawat datang kami segera berlari ke counter tiket menanyakan kalau ada seat kosong. Sebuah perburuan yang sia-sia. Karena ternyata yang masuk daftar tunggu sudah jauh lebih panjang. Hampir tidak mungkin.
Jam 14.30. Secercah harapan muncul. Staf maskapai penerbangan kami menyampaikan bahwa kami bisa ikut flight jam 18.55. Namun kabar buruknya adalah kami harus menambah biaya 50 % dari harga tiket. Kabar lebih buruknya adalah harga tiket tambahan itu dihitung berdasarkan harga terkini. Harga terkini itu 1 ½ kali tiket yang kami pegang! Wohoho….
Namun mengingat pentingnya acara yang harus dihadiri, kami harus membeli tiket itu. Prinsipnya adalah sampai di Jakarta dulu. Setelah itu baru dipikirkan tiket ke Palembang. Kami tiba di Jakarta jam 21.30.
Akhirnya memang esok harinya jam 13.00 kami sampai di Palembang setelah menginap di Jakarta dan berjuang lagi mencari tiket. Terlambat? Sudah pasti. Tapi itulah pesawat yang tersedia. Lagi-lagi peak season jadi alasannya. Harganya tiketnya? Ya harga liburan dong! Mahal, maksudnya….
Capek badan dan pikiran sudah pasti. Rugi waktu dan rugi uang. Tapi yang saya maksud memalukan di awal tulisan ini adalah pada saat kita nunggu di bandara dari jam 10 pagi sampai jam 7 malam. Masak ditinggal pesawat di kota sendiri? Malu sama diri sendiri. Lebih malu lagi pada setiap orang yang nanya. Memang sebuah pelajaran yang mahal..
Pesan moral cerita ini: Kalau anda datang terlambat, pesawat pasti on schedule alias nggak delay.
Untuk suatu keperluan kantor, saya dan seorang teman berangkat ke Palembang. Dari kota saya kami harus transit di Jakarta. Semuanya sudah diatur dengan sebaik-baiknya. Tiket sudah ditangan dengan waktu yang cukup untuk transit. Ini karena tiket yang kami pegang bukan connecting ticket. (Alasan teman saya yang membeli tiket ‘kalau connect lama nunggunya di Cengkareng’). Jadilah tiket kami dari maskapai yang berbeda. Ini artinya kalau ada apa-apa menjadi resiko kami. Tapi dengan kalkulasi yang cukup matang, kami yakin tidak akan ketinggalan pesawat Jakarta – Palembang.
Jam 08.00. Saya sudah sampai di kantor. Dengan jadwal take off jam 09.55, itu adalah waktu yang pas untuk berangkat ke bandara. Ini karena kota saya adalah kota yang tidak sepadat Jakarta lalulintasnya. Tapi ternyata teman saya yang hendak sama-sama berangkat itu belum kelihatan batang hidungnya. Saya mendesah. Karena saya tahu dia adalah orang dengan tipe yang bergerak pada last minute. (Itu bahasa kerennya. Bahasa pasarannya: lelet). Kalau semua berjalan sesuai rencana ya tidak apa-apa. Tapi kalau ada faktor X, buyar semua.
Jam 08.15 dia baru nongol. Saya pikir akan langsung berangkat. Ternyata dia masih grasa-grusu di mejanya. Begitu saya ingatkan jadwal take-off, dia bilang “Oya. Santai aja. Jalan ndak macet ini. Stengah jam sampai bandara kok.” Mendengar omongan yang demikian, saya berniat memberinya pelajaran. Saya akan menunggu sampai kapan dia baru mulai bergerak. Saya tidak akan memberi warning lagi. Begitu juga pada jam 08.30 dia ngomong mau ke rumah orangtuanya sebentar (meskipun rumah orangtuanya dekat kantor, tapi ya ampuuun….,kebayang nggak? Kenapa nggak dari tadi-tadi?) saya tetap meng-iya-kan.
09.10 dia baru muncul lagi. Kami langsung berangkat. Dengan sedikit ngebut sambil zigzag, kami tiba di bandara jam 09.45. Itu berarti 10 menit sebelum take-off. Dengan berlari kami masuk dan menuju counter untuk check-in. Tapi apa lacur, pintu pesawat sudah ditutup. Bukan itu saja, seat-nya juga sudah dijual oleh maskapai tersebut. Mereka beralasan sudah menelpon untuk konfirmasi, tapi tidak diangkat. (Tentu saja saya komplain. Tapi belakangan teman saya itu mengaku kalau memang dia di telpon, tapi karena nomernya nggak kenal, dia nggak angkat!).
Huah! Gondok campur senang saya. Karena niat saya memberi pelajaran kepada teman saya itu berhasil. Karena itu saya tidak melanjutkan komplain saya. Apalagi mereka berjanji akan memindahkan kami ke penerbangan berikutnya.
Namun masalah lain muncul. Karena saat ini musim liburan, semua penerbangan hari itu penuh! Ditambah lagi pada hari itu sebagian besar yang berangkat adalah rombongan pramuka dari seluruh kabupaten yang akan mengikuti acara Raimuna (semacam Jambore) di Cibubur, maka tipis harapan ada yang membatalkan keberangkatan. Itu artinya juga tipis harapan kami untuk berangkat pada hari itu.
Saya segera menyuruh teman saya ini untuk membatalkan penerbangan Jakarta – Palembang yang berangkat jam 16.00 itu. Pada mulanya dia agak enggan (karena tipenya yang last minute itu mungkin). Tapi karena saya beralasan hampir tidak mungkin mendapatkan flight siang terutama melihat banyaknya rombongan pramuka yang datang bagai air bah, akhirnya dia mau juga menelpon agen perjalanan kami. Hilang uang 50 % dari harga tiket.
Kami terus menunggu. Menunggu sambil berburu. Setiap ada pesawat datang kami segera berlari ke counter tiket menanyakan kalau ada seat kosong. Sebuah perburuan yang sia-sia. Karena ternyata yang masuk daftar tunggu sudah jauh lebih panjang. Hampir tidak mungkin.
Jam 14.30. Secercah harapan muncul. Staf maskapai penerbangan kami menyampaikan bahwa kami bisa ikut flight jam 18.55. Namun kabar buruknya adalah kami harus menambah biaya 50 % dari harga tiket. Kabar lebih buruknya adalah harga tiket tambahan itu dihitung berdasarkan harga terkini. Harga terkini itu 1 ½ kali tiket yang kami pegang! Wohoho….
Namun mengingat pentingnya acara yang harus dihadiri, kami harus membeli tiket itu. Prinsipnya adalah sampai di Jakarta dulu. Setelah itu baru dipikirkan tiket ke Palembang. Kami tiba di Jakarta jam 21.30.
Akhirnya memang esok harinya jam 13.00 kami sampai di Palembang setelah menginap di Jakarta dan berjuang lagi mencari tiket. Terlambat? Sudah pasti. Tapi itulah pesawat yang tersedia. Lagi-lagi peak season jadi alasannya. Harganya tiketnya? Ya harga liburan dong! Mahal, maksudnya….
Capek badan dan pikiran sudah pasti. Rugi waktu dan rugi uang. Tapi yang saya maksud memalukan di awal tulisan ini adalah pada saat kita nunggu di bandara dari jam 10 pagi sampai jam 7 malam. Masak ditinggal pesawat di kota sendiri? Malu sama diri sendiri. Lebih malu lagi pada setiap orang yang nanya. Memang sebuah pelajaran yang mahal..
Pesan moral cerita ini: Kalau anda datang terlambat, pesawat pasti on schedule alias nggak delay.
Selasa, 24 Juni 2008
Workaholic
Kemaren situs kompas.com menurunkan artikel yang diberi judul "Setiap Orang Perlu Waktu Luang". Meskipun setelah dibaca ternyata isinya berkaitan dengan soal percintaan, saya kira judul tersebut bisa juga ditarik menjadi topik posting kita.
Banyak atasan yang 'sepertinya' tidak memberi waktu luang kepada stafnya. Dalam hal ini maksudnya bukan waktu luang pada jam kerja tapi waktu luang setelah jam kerja. Bingung? Begini ceritanya.
Ada tipe atasan yang kayaknya sangat hobi mengikat kaki karyawannya di kantor. Meskipun sebenarnya jam pulang sudah lewat. Namun kelihatannya si bos tidak rela jika bawahannya meninggalkan kantor. Ada aja alasannya. Kalau alasannya karena ada pekerjaan yang mendesak ya ok ok saja. Tapi kalau memang rutin setiap hari begitu, mungkin ia mengidap gangguan jiwa.
Pengalaman saya dengan bos tipe begini bermacam-macam. Ada bos yang sangat suka memberi tugas pada saat hampir jam bubaran kantor. Dengan bumbu kata-kata 'ditunggu ya..', maka terbelenggulah sang karyawan di meja kerjanya. Ada juga yang suka nongkrong di meja karyawannya yang kira-kira persis di pintu keluar sambil ngobrol ngalor ngidul. Secara tidak langsung kan berarti 'hayo...mau pulang ya..??' pada setiap karyawan yang lewat. Tentu saja karyawan jadi segan keluar meskipun memang sudah jamnya.
Pembenarannya juga macam-macam. Ada yang bilang bahwa 'jam kantor habis untuk rapat dan koordinasi, jadi di luar jam kantor baru kita bisa bekerja'. Padahal kenyataannya yang rapat melulu dan koordinasi melulu kan cuma si bos. Sementara anak buahnya kan kerja dari pagi. Kalau memang ada tugas tambahan mbok yao dikasinya pagi-pagi gitu. Biar sorenya bisa beres. Ada lagi yang bilang kalau sosialisasi itu perlu. Jadi habis jam kantor itu waktunya bersosialisasi, so jangan buru-buru pulang...! Bos ini kayaknya kebanyakan nemenin anaknya nonton film kartun Sin Chan. Karena di situ digambarkan bapaknya Sin Chan (yang katanya stereotip pekerja Jepang), minum-minum sambil karaoke bersama bos dan rekan-rekannya setiap habis jam kerja sebelum pulang. Cuma perlu jadi catatan juga, jangan-jangan si Sin Chan nakalnya minta ampun karena kurang diperhatikan sama bapaknya. Soalnya pulangnya mabok terus....
Dari hasil pembahasan bersama beberapa teman, mungkin ada beberapa alasan yang cukup logis untuk bos macam begini. Satu, ogah rugi. Hitungannya matematis saja. Kalau bisa jam kerja karyawan ditambah tanpa harus nambah gaji berarti untung. Demikian sebaliknya. Kedua, sirik. Artinya, gua kerja lu pulang. Enak bener...(kata si bos dalam hati). Jadi ini semacam kepuasan batin orang yang jiwanya sakit. Ketiga, si bos punya masalah di rumah. Mungkin bermasalah dengan anggota keluarganya, istri, anak, mertua, pembantu atau tetangga. Atau dia tidak punya power sebesar yang dia punya di kantor. Istilah populernya ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). Ini yang bikin kantor jauh lebih menyenangkan daripada rumah. Di kantor bisa nyuruh-nyuruh, di rumah boro-boro. Keempat, si bos memang workaholic.
Tapi apapun alasannya, yang perlu diperhatikan oleh para para bos -baik bos besar maupun bos kecil- bahwa karyawan punya kehidupan lain selain di kantor. Mereka punya keluarga dan teman yang juga perlu waktu. Kalau memang anda sebagai bos workaholic yang perlu waktu 25 jam sehari di kantor, ya silakan saja. Tapi jangan menyalahgunakan kekuasaan yang anda punya untuk kepuasan jiwa anda pribadi semata. Maksudnya, jangan ngajak-ngajak karyawan...
Pesan moral : Terlalu banyak nonton Sin Chan bisa membuat anda harus berkonsultasi ke psikiater.
Banyak atasan yang 'sepertinya' tidak memberi waktu luang kepada stafnya. Dalam hal ini maksudnya bukan waktu luang pada jam kerja tapi waktu luang setelah jam kerja. Bingung? Begini ceritanya.
Ada tipe atasan yang kayaknya sangat hobi mengikat kaki karyawannya di kantor. Meskipun sebenarnya jam pulang sudah lewat. Namun kelihatannya si bos tidak rela jika bawahannya meninggalkan kantor. Ada aja alasannya. Kalau alasannya karena ada pekerjaan yang mendesak ya ok ok saja. Tapi kalau memang rutin setiap hari begitu, mungkin ia mengidap gangguan jiwa.
Pengalaman saya dengan bos tipe begini bermacam-macam. Ada bos yang sangat suka memberi tugas pada saat hampir jam bubaran kantor. Dengan bumbu kata-kata 'ditunggu ya..', maka terbelenggulah sang karyawan di meja kerjanya. Ada juga yang suka nongkrong di meja karyawannya yang kira-kira persis di pintu keluar sambil ngobrol ngalor ngidul. Secara tidak langsung kan berarti 'hayo...mau pulang ya..??' pada setiap karyawan yang lewat. Tentu saja karyawan jadi segan keluar meskipun memang sudah jamnya.
Pembenarannya juga macam-macam. Ada yang bilang bahwa 'jam kantor habis untuk rapat dan koordinasi, jadi di luar jam kantor baru kita bisa bekerja'. Padahal kenyataannya yang rapat melulu dan koordinasi melulu kan cuma si bos. Sementara anak buahnya kan kerja dari pagi. Kalau memang ada tugas tambahan mbok yao dikasinya pagi-pagi gitu. Biar sorenya bisa beres. Ada lagi yang bilang kalau sosialisasi itu perlu. Jadi habis jam kantor itu waktunya bersosialisasi, so jangan buru-buru pulang...! Bos ini kayaknya kebanyakan nemenin anaknya nonton film kartun Sin Chan. Karena di situ digambarkan bapaknya Sin Chan (yang katanya stereotip pekerja Jepang), minum-minum sambil karaoke bersama bos dan rekan-rekannya setiap habis jam kerja sebelum pulang. Cuma perlu jadi catatan juga, jangan-jangan si Sin Chan nakalnya minta ampun karena kurang diperhatikan sama bapaknya. Soalnya pulangnya mabok terus....
Dari hasil pembahasan bersama beberapa teman, mungkin ada beberapa alasan yang cukup logis untuk bos macam begini. Satu, ogah rugi. Hitungannya matematis saja. Kalau bisa jam kerja karyawan ditambah tanpa harus nambah gaji berarti untung. Demikian sebaliknya. Kedua, sirik. Artinya, gua kerja lu pulang. Enak bener...(kata si bos dalam hati). Jadi ini semacam kepuasan batin orang yang jiwanya sakit. Ketiga, si bos punya masalah di rumah. Mungkin bermasalah dengan anggota keluarganya, istri, anak, mertua, pembantu atau tetangga. Atau dia tidak punya power sebesar yang dia punya di kantor. Istilah populernya ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). Ini yang bikin kantor jauh lebih menyenangkan daripada rumah. Di kantor bisa nyuruh-nyuruh, di rumah boro-boro. Keempat, si bos memang workaholic.
Tapi apapun alasannya, yang perlu diperhatikan oleh para para bos -baik bos besar maupun bos kecil- bahwa karyawan punya kehidupan lain selain di kantor. Mereka punya keluarga dan teman yang juga perlu waktu. Kalau memang anda sebagai bos workaholic yang perlu waktu 25 jam sehari di kantor, ya silakan saja. Tapi jangan menyalahgunakan kekuasaan yang anda punya untuk kepuasan jiwa anda pribadi semata. Maksudnya, jangan ngajak-ngajak karyawan...
Pesan moral : Terlalu banyak nonton Sin Chan bisa membuat anda harus berkonsultasi ke psikiater.
Sabtu, 21 Juni 2008
Manusia-manusia Dalam Rapat
Rapat adalah salah satu aktivitas kantor yang termasuk sering dilakukan. Terlepas dari rapat yang dilakukan hanya berupa rapat terbatas secara informal ataupun rapat yang serius hingga jidat berkerut sampai tujuh lipatan. Pokoknya rapat merupakan 'santapan rohani' yang cukup mendominasi dunia perkantoran.
Terlepas dari urgensinya, rapat bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Itu tergantung situasi dan kondisinya. Jika anda disuruh memilih antara rapat di luar kantor atau mengerjakan pekerjaan rutin yang seperti tidak ada matinya di kantor, rapat bisa menjadi pelarian yang menyenangkan. Tapi bila anda disuruh rapat pada saat pekerjaan anda menumpuk sementara rapat yang anda akan hadiri tidak penting-penting amat, rapat bisa jadi hal yang sangat menyebalkan.
Kalau anda hadir tanpa beban di dalam rapat -sebagai pendamping bos contohnya- cobalah sekali-sekali mengangkat muka dari kertas kerja anda dan melihat rapat dari sisi yang lain. Lihatlah sekeliling dan perhatikan wajah-wajah para peserta rapat. Saya pernah melakukannya.
Sering malah.
Pertama yang anda akan lihat adalah wajah berwibawa dengan ketenangan. Entah tenang bener atau dibikin supaya kelihatan tenang. Biasanya wajah begini adalah wajah bos si pemimpin rapat.
Selanjutnya anda akan melihat orang yang matanya melotot ke depan tapi kita bisa tahu pasti bahwa pikirannya tidak di ruangan rapat itu. Orang begini biasanya adalah orang yang sedang punya masalah di kantornya, tapi terpaksa menghadiri rapat itu karena satu dan lain hal. Mungkin karena tuntutan jabatannya, atau karena ditunjuk mewakili bosnya yang lagi berhalangan.
Terus ada lagi yang terlihat santai. Saya (dan mungkin juga anda) contohnya. Ini menunjukkan bahwa mereka bukanlah pemain kunci dalam rapat itu. Mungkin hanya mendampingi bos atau diajak rekan kerja. Tipe seperti ini lebih banyak diam tapi kepalanya terus bergerak menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari tahu siapa yang sedang berbicara. Sekali-sekali mereka juga mengangguk-angguk untuk menunjukkan -setidaknya kepada diri mereka sendiri- bahwa mereka mengerti tentang topik yang sedang dibahas. Tapi kebanyakan orang melakukannya biar tidak kelihatan bingungnya saja.
Ada juga yang kelihatan bersemangat. Biasanya ini yang punya gawe. Yang mengundang rapat. Tingkat semangatnya biasanya berbanding lurus dengan jumlah kehadiran peserta. Jika pada saat jam rapat masih banyak peserta yang belum nongol, dia akan terlihat gelisah sambil sesekali melirik jam tangannya. Tapi kalau peserta sudah ngumpul semua secara on time, dia akan terlihat gembira. Namun jika pesertanya jauh lebih banyak daripada yang diundang, dia juga kebingungan. Karena berarti dia harus me re-order konsumsi!
Selain itu ada juga yang terlihat selalu semangat. Bicaranya selalu teknis dan berapi-api. Ada 3 kemungkinan untuk hal seperti ini. Pertama, dia memang orang yang tepat untuk bicara teknis. Kedua, dia mencari perhatian bos. Ketiga, dia mencari pembenaran atas tindakannya. Tindakannya itu bisa berupa kesalahan yang sudah terlanjur dikerjakan, tapi juga bisa berarti upaya untuk menghindari tanggungjawab dengan melimpahkan 'atas nama teknis' kepada pihak lain. Singkatnya, dia mencari kambing hitam.
Bagaimana dengan yang ngantuk? Kalau rapat di ruang kecil, jarang yang ada. Karena pasti langsung ketahuan. Tapi kalau di ruang rapat yang besar, apalagi ekstra besar -seperti di gedung DPR dan DPRD- buanyak.......
Ada lagi yang selanang- selonong ke sana kemari. Ini pasti bukan peserta rapat. Kalau bukan yang mengedarkan teh dan kopi, pasti seksi teknis karena mike atau LCD proyektornya macet....
Pesan moral dari cerita ini: kalau jadi peserta rapat, waspadalah....karena ada orang yang memperhatikan anda. Saya contohnya.
Terlepas dari urgensinya, rapat bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Itu tergantung situasi dan kondisinya. Jika anda disuruh memilih antara rapat di luar kantor atau mengerjakan pekerjaan rutin yang seperti tidak ada matinya di kantor, rapat bisa menjadi pelarian yang menyenangkan. Tapi bila anda disuruh rapat pada saat pekerjaan anda menumpuk sementara rapat yang anda akan hadiri tidak penting-penting amat, rapat bisa jadi hal yang sangat menyebalkan.
Kalau anda hadir tanpa beban di dalam rapat -sebagai pendamping bos contohnya- cobalah sekali-sekali mengangkat muka dari kertas kerja anda dan melihat rapat dari sisi yang lain. Lihatlah sekeliling dan perhatikan wajah-wajah para peserta rapat. Saya pernah melakukannya.
Sering malah.
Pertama yang anda akan lihat adalah wajah berwibawa dengan ketenangan. Entah tenang bener atau dibikin supaya kelihatan tenang. Biasanya wajah begini adalah wajah bos si pemimpin rapat.
Selanjutnya anda akan melihat orang yang matanya melotot ke depan tapi kita bisa tahu pasti bahwa pikirannya tidak di ruangan rapat itu. Orang begini biasanya adalah orang yang sedang punya masalah di kantornya, tapi terpaksa menghadiri rapat itu karena satu dan lain hal. Mungkin karena tuntutan jabatannya, atau karena ditunjuk mewakili bosnya yang lagi berhalangan.
Terus ada lagi yang terlihat santai. Saya (dan mungkin juga anda) contohnya. Ini menunjukkan bahwa mereka bukanlah pemain kunci dalam rapat itu. Mungkin hanya mendampingi bos atau diajak rekan kerja. Tipe seperti ini lebih banyak diam tapi kepalanya terus bergerak menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari tahu siapa yang sedang berbicara. Sekali-sekali mereka juga mengangguk-angguk untuk menunjukkan -setidaknya kepada diri mereka sendiri- bahwa mereka mengerti tentang topik yang sedang dibahas. Tapi kebanyakan orang melakukannya biar tidak kelihatan bingungnya saja.
Ada juga yang kelihatan bersemangat. Biasanya ini yang punya gawe. Yang mengundang rapat. Tingkat semangatnya biasanya berbanding lurus dengan jumlah kehadiran peserta. Jika pada saat jam rapat masih banyak peserta yang belum nongol, dia akan terlihat gelisah sambil sesekali melirik jam tangannya. Tapi kalau peserta sudah ngumpul semua secara on time, dia akan terlihat gembira. Namun jika pesertanya jauh lebih banyak daripada yang diundang, dia juga kebingungan. Karena berarti dia harus me re-order konsumsi!
Selain itu ada juga yang terlihat selalu semangat. Bicaranya selalu teknis dan berapi-api. Ada 3 kemungkinan untuk hal seperti ini. Pertama, dia memang orang yang tepat untuk bicara teknis. Kedua, dia mencari perhatian bos. Ketiga, dia mencari pembenaran atas tindakannya. Tindakannya itu bisa berupa kesalahan yang sudah terlanjur dikerjakan, tapi juga bisa berarti upaya untuk menghindari tanggungjawab dengan melimpahkan 'atas nama teknis' kepada pihak lain. Singkatnya, dia mencari kambing hitam.
Bagaimana dengan yang ngantuk? Kalau rapat di ruang kecil, jarang yang ada. Karena pasti langsung ketahuan. Tapi kalau di ruang rapat yang besar, apalagi ekstra besar -seperti di gedung DPR dan DPRD- buanyak.......
Ada lagi yang selanang- selonong ke sana kemari. Ini pasti bukan peserta rapat. Kalau bukan yang mengedarkan teh dan kopi, pasti seksi teknis karena mike atau LCD proyektornya macet....
Pesan moral dari cerita ini: kalau jadi peserta rapat, waspadalah....karena ada orang yang memperhatikan anda. Saya contohnya.
Jumat, 20 Juni 2008
Kambing Liar
Ini cerita dari kantor sebelah.
Sang boss di kantor itu terkenal sangat emosional. Bahkan sangat. Kalau lagi marah, hampir semua isi kebun binatang disebutnya. Mulai dari macan, monyet, badak, kambing sampai ayam. (saya rasa dua terakhir itu bukan penghuni kebun binatang, deh).
Karena itu para anak buah selalu dihinggapi rasa takut plus was-was apabila dapat panggilan. Karena meskipun bekerja benar, tapi salah omong waktu menjawab juga bisa menyebabkan kena semprot. Apalagi jika kerjanya tidak becus, bisa-bisa dilempar dengan asbak.
Pada suatu hari, si bos yang pemarah itu keluar dari ruangannya dengan wajah merah padam. Dengan suara menggelegar bak guntur di siang bolong dia memberi perintah kepada sekretarisnya yang sudah kelihatan mengkeret seperti tikus kecemplung got.
"Panggil kambing-kambing di atas!"
Si sekretaris maklum maksudnya. Ruangan si bos berada di lantai bawah, sedangkan ruangan para kepala divisi berada di lantai yang lebih tinggi. Si sekretaris tanpa menunggu diperintah untuk kedua kalinya segera ngacir menuju lift. Ia paham sekali karakter si bos yang akan melabrak siapa saja yang ada di depannya kalau lagi emosi begitu. Makanya lebih baik cepat-cepat menyingkir daripada kena omelan yang nggak jelas ujung pangkalnya. Biasanya kalau bosnya lagi kumat begitu, ia segera mencari-cari kesibukan supaya tidak jadi sasaran tembak si bos.
Tiba-tiba ia tertegun. Tubuhnya menggigil. Ia ingat bahwa ia melupakan sesuatu. Perintah tadi tidak jelas. Kepala divisi mana yang dimaksud si bos? Atau malah jangan-jangan bukan kepala divisi yang disuruh panggil. Karena si bos juga sering memanggil langsung staf yang dia anggap perlu dipanggil untuk diomeli.
Memanggil orang yang salah, bisa menyebabkan dua hal. Pertama, dimarahi oleh yang dipanggil. Kedua, dimarahi oleh yang memanggil. Bertanya lagi ke si bos juga bisa menyebabkan dia kena semprot.
Akhirnya si sekretaris mengambil keputusan. Dimarahi sekali lebih baik daripada dimarahi dua kali. Perlahan-lahan ia balik kanan dan langsung mengetuk pintu pak bos.
"Masuk!" suara di dalam sepertinya siap memakan orang. Udara di sekeliling sekretaris mendadak menjadi panas. Buktinya ia berkeringat di ruang ber AC.
Krrrtttt.....sekretaris membuka pintu. Si bos mengangkat muka dengan ekspresi bertanya. Kok bukan yang dipanggil yang datang, mungkin begitu batinnya.
"Ada apa?"
"MMM....mmaaaf, pppak......yyyang mmau dippanggil k...kkk...kambing yang mana?"
Ha?
Pesan moral dari cerita ini: Kalau mencari sekretaris jangan yang gagap dan suka gugup. Salah-salah, saking groginya, waktu diomelin, malah kita yang disemprot!
Sang boss di kantor itu terkenal sangat emosional. Bahkan sangat. Kalau lagi marah, hampir semua isi kebun binatang disebutnya. Mulai dari macan, monyet, badak, kambing sampai ayam. (saya rasa dua terakhir itu bukan penghuni kebun binatang, deh).
Karena itu para anak buah selalu dihinggapi rasa takut plus was-was apabila dapat panggilan. Karena meskipun bekerja benar, tapi salah omong waktu menjawab juga bisa menyebabkan kena semprot. Apalagi jika kerjanya tidak becus, bisa-bisa dilempar dengan asbak.
Pada suatu hari, si bos yang pemarah itu keluar dari ruangannya dengan wajah merah padam. Dengan suara menggelegar bak guntur di siang bolong dia memberi perintah kepada sekretarisnya yang sudah kelihatan mengkeret seperti tikus kecemplung got.
"Panggil kambing-kambing di atas!"
Si sekretaris maklum maksudnya. Ruangan si bos berada di lantai bawah, sedangkan ruangan para kepala divisi berada di lantai yang lebih tinggi. Si sekretaris tanpa menunggu diperintah untuk kedua kalinya segera ngacir menuju lift. Ia paham sekali karakter si bos yang akan melabrak siapa saja yang ada di depannya kalau lagi emosi begitu. Makanya lebih baik cepat-cepat menyingkir daripada kena omelan yang nggak jelas ujung pangkalnya. Biasanya kalau bosnya lagi kumat begitu, ia segera mencari-cari kesibukan supaya tidak jadi sasaran tembak si bos.
Tiba-tiba ia tertegun. Tubuhnya menggigil. Ia ingat bahwa ia melupakan sesuatu. Perintah tadi tidak jelas. Kepala divisi mana yang dimaksud si bos? Atau malah jangan-jangan bukan kepala divisi yang disuruh panggil. Karena si bos juga sering memanggil langsung staf yang dia anggap perlu dipanggil untuk diomeli.
Memanggil orang yang salah, bisa menyebabkan dua hal. Pertama, dimarahi oleh yang dipanggil. Kedua, dimarahi oleh yang memanggil. Bertanya lagi ke si bos juga bisa menyebabkan dia kena semprot.
Akhirnya si sekretaris mengambil keputusan. Dimarahi sekali lebih baik daripada dimarahi dua kali. Perlahan-lahan ia balik kanan dan langsung mengetuk pintu pak bos.
"Masuk!" suara di dalam sepertinya siap memakan orang. Udara di sekeliling sekretaris mendadak menjadi panas. Buktinya ia berkeringat di ruang ber AC.
Krrrtttt.....sekretaris membuka pintu. Si bos mengangkat muka dengan ekspresi bertanya. Kok bukan yang dipanggil yang datang, mungkin begitu batinnya.
"Ada apa?"
"MMM....mmaaaf, pppak......yyyang mmau dippanggil k...kkk...kambing yang mana?"
Ha?
Pesan moral dari cerita ini: Kalau mencari sekretaris jangan yang gagap dan suka gugup. Salah-salah, saking groginya, waktu diomelin, malah kita yang disemprot!
Rabu, 18 Juni 2008
Katak Hendak Jadi Lembu
Di kantor saya ada seorang sopir. Namanya pak Z. Dulu sekali ia adalah sopirnya big boss. Waktu itu semua orang segan (atau takut?) padanya. Hal ini karena sebagai sopir big boss tentu aksesnya langsung ke sang majikan. Jadi ngomong di dekatnya harus hati-hati, kalau tidak ingin sang big boss tahu apa yang anda bicarakan. Pada saat itu, pak Z ini merasa posisinya hanya sedikit di bawah sang bos. Semua hal dikomentarinya. Orang terpaksa diam bukan karena takut padanya, tapi takut kepada majikannya.
Namun hujan tak sepanjang hari. Sang big boss lengser. Karena big boss baru tidak mau memakainya, maka jabatannya sebagai sopir orang nomor satu di kantor itu ikut lengser. Jadilah ia seorang sopir mobil kantor biasa saja. Namun sifat ingin tahu urusan orang lainnya tidak ikut lengser. Malah bertambah-tambah. Semua hal dikomentari dan dinilai dengan kata kunci “kalau dulu..”. Kalau dulu begini, kalau dulu begitu, kalau dulu begini begitu dan seterusnya.
Suatu hari ia ditugaskan untuk pergi ke lapangan bersama beberapa orang staf lain. Sebagaimana lazimnya kalau ada tim yang berangkat ke lapangan, pasti ada seseorang yang ditunjuk sebagai koordinator. Seorang koordinator disamping bertugas mengkoordinir kelancaran pelaksanaan lapangan, juga sekaligus mengendalikan biaya operasional di lapangan. Pada saat itu koordinator tim ditunjuk seorang staf dengan latar belakang pendidikan dan jabatan yang sesuai dengan kebutuhan lapangan.
Mungkin karena merasa bahwa koordinator yang ditunjuk jauh lebih junior dibandingkan dengan dirinya, pak Z protes kepada atasannya. Ia memang tidak serta merta memperlihatkan ketidaksenangannya, tetapi ia selalu memulai kalimat protesnya dengan kata saktinya,”Kalau dulu…..”
Namun pada intinya si atasan dapat membaca kalau pak Z ini merasa lebih berhak memegang kendali tim itu. Ia merasa dilangkahi oleh seorang anak ‘kemaren sore’. Ia merasa jauh lebih berpengalaman. Yang dia tidak sadari sebenarnya adalah bahwa pengalamannya selama ini hanyalah sebagai sopir. Sebatas itulah tanggung jawab yang pernah diembannya. Jelas tidak mungkin memberinya tanggung jawab untuk suatu hal yang berkaitan dengan teknis. Sekalipun dia adalah mantan sopir big bos dengan pengalaman menyetir mobil selama puluhan tahun, dalam hal ini si junior yang baru bekerja beberapa bulan jauh lebih pantas.
Akibatnya bisa diduga, pak Z diultimatum untuk menentukan posisinya –tetap di dalam tim atau tidak. Kalau ingin tetap di tim, silakan ikut aturan main, tapi kalau tidak silakan mengundurkan diri untuk ditunjuk sopir lain sebagai pengganti. Esok harinya pada saat tim itu berangkat, si atasan mendapat kabar bahwa pak Z ternyata ikut berangkat. Menyerah dia rupanya.
Sehubungan dengan itu, ada sebuah kisah klasik Melayu tentang seekor katak yang ingin menjadi sebesar lembu. Bagi anda yang tidak tahu apa itu lembu, lembu adalah sapi. Saking ingin bertubuh besar seperti lembu, si katak menghirup udara dalam-dalam dan menggelembungkan dadanya. Ia tidak sadar kapasitas tubuhnya yang kecil. Akibatnya bukan badan besar yang didapat, tapi kematian. Perutnya pecah!
Pesan moral dari cerita ini: kalau ingin punya badan besar seperti lembu, jangan hanya menggelembungkan dada. Pergilah ke fitness dan makan yang banyak. Usaha!
Namun hujan tak sepanjang hari. Sang big boss lengser. Karena big boss baru tidak mau memakainya, maka jabatannya sebagai sopir orang nomor satu di kantor itu ikut lengser. Jadilah ia seorang sopir mobil kantor biasa saja. Namun sifat ingin tahu urusan orang lainnya tidak ikut lengser. Malah bertambah-tambah. Semua hal dikomentari dan dinilai dengan kata kunci “kalau dulu..”. Kalau dulu begini, kalau dulu begitu, kalau dulu begini begitu dan seterusnya.
Suatu hari ia ditugaskan untuk pergi ke lapangan bersama beberapa orang staf lain. Sebagaimana lazimnya kalau ada tim yang berangkat ke lapangan, pasti ada seseorang yang ditunjuk sebagai koordinator. Seorang koordinator disamping bertugas mengkoordinir kelancaran pelaksanaan lapangan, juga sekaligus mengendalikan biaya operasional di lapangan. Pada saat itu koordinator tim ditunjuk seorang staf dengan latar belakang pendidikan dan jabatan yang sesuai dengan kebutuhan lapangan.
Mungkin karena merasa bahwa koordinator yang ditunjuk jauh lebih junior dibandingkan dengan dirinya, pak Z protes kepada atasannya. Ia memang tidak serta merta memperlihatkan ketidaksenangannya, tetapi ia selalu memulai kalimat protesnya dengan kata saktinya,”Kalau dulu…..”
Namun pada intinya si atasan dapat membaca kalau pak Z ini merasa lebih berhak memegang kendali tim itu. Ia merasa dilangkahi oleh seorang anak ‘kemaren sore’. Ia merasa jauh lebih berpengalaman. Yang dia tidak sadari sebenarnya adalah bahwa pengalamannya selama ini hanyalah sebagai sopir. Sebatas itulah tanggung jawab yang pernah diembannya. Jelas tidak mungkin memberinya tanggung jawab untuk suatu hal yang berkaitan dengan teknis. Sekalipun dia adalah mantan sopir big bos dengan pengalaman menyetir mobil selama puluhan tahun, dalam hal ini si junior yang baru bekerja beberapa bulan jauh lebih pantas.
Akibatnya bisa diduga, pak Z diultimatum untuk menentukan posisinya –tetap di dalam tim atau tidak. Kalau ingin tetap di tim, silakan ikut aturan main, tapi kalau tidak silakan mengundurkan diri untuk ditunjuk sopir lain sebagai pengganti. Esok harinya pada saat tim itu berangkat, si atasan mendapat kabar bahwa pak Z ternyata ikut berangkat. Menyerah dia rupanya.
Sehubungan dengan itu, ada sebuah kisah klasik Melayu tentang seekor katak yang ingin menjadi sebesar lembu. Bagi anda yang tidak tahu apa itu lembu, lembu adalah sapi. Saking ingin bertubuh besar seperti lembu, si katak menghirup udara dalam-dalam dan menggelembungkan dadanya. Ia tidak sadar kapasitas tubuhnya yang kecil. Akibatnya bukan badan besar yang didapat, tapi kematian. Perutnya pecah!
Pesan moral dari cerita ini: kalau ingin punya badan besar seperti lembu, jangan hanya menggelembungkan dada. Pergilah ke fitness dan makan yang banyak. Usaha!
Rabu, 11 Juni 2008
Senioritas...
Suatu hari seorang karyawan memasuki ruang kerja saya sambil memegang sebuah amplop. Sekilas saya tahu bahwa amplop yang dipegangnya itu adalah amplop berisi uang insentif, karena baru beberapa menit yang lalu saya menyuruh seorang karyawan -yang terbilang masih junior- untuk membagikan amplop itu. Di tiap amplop sudah saya beri nama sehingga tidak mungkin rasanya akan salah alamat. Amplop itu juga saya lem sendiri, hingga hanya saya yang tahu berapa isi masing-masing amplop.
"Pak, saya dikasih si X (katakan nama karyawan junior itu) amplop ini. Katanya dari Bapak,"katanya memulai pembicaraan.
"Benar. Saya yang menyuruh si X untuk membagikan amplop itu."
"Apa ini, Pak?"katanya lagi.
"Proyek kita kemaren beruntung. Jadi ini semacam insentif untuk karyawan,"kata saya menjelaskan.
"Kalau gitu saya ndak usah nerima aja pak," katanya sambil setengah menghempaskan amplop itu di meja saya. "Saya kan ndak terlibat di proyek itu."
Terus terang saya kaget. Kok ada orang yang menolak dikasi duit. Apalagi setahu saya selama ini dia tidak pernah begitu. Pasti ada sesuatu, batin saya. Otak saya sudah mulai menganalisa dan mencari kemungkinan-kemungkinan penyebabnya.
"Lho, gini. Memang kamu ndak ikut. Tapi insentif ini saya bagi ke seluruh karyawan di divisi kita. Porsinya tentu ndak sama antara yang ikut langsung dengan yang ndak. Biar semua merasakan, gitu. Jadi ndak masalah," saya coba jelaskan kembali.
"Bapak memberinya lewat si X, ndak langsung ke saya. Jadi ndak usahlah pak!" katanya sambil berdiri lalu berjalan meninggalkan ruang saya.
Saya tersentak. Terus terang saya tersinggung. Saya merasa ini orang kok sombong sekali sebagai manusia. Sudah diberi tanpa meminta, menolak dengan cara yang kasar lagi.
Kalau mengikuti naluri sebagai manusia, saya ingin mengejarnya lalu berteriak di kupingnya soal kesombongan dan sikap tidak sopannya. Tapi sebagai orang yang membawahi sejumlah karyawan, saya sadar tindakan itu akan membuat suasana kantor tidak kondusif.
Saya menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Saya mencoba instropeksi. Apa saya yang salah? Nominalnya saya kira pantas untuk ukuran dia. Dia tidak ikut kerja (seperti diakuinya sendiri tadi). Jadi dia tidak berhak untuk meminta lebih. Kasarnya, diberi saja sudah syukur. Terus, dia juga menyinggung kok tidak saya berikan langsung, tetapi dititip lewat si X. Saya kira dengan siapapun saya titip, selama amplop itu tersegel rapat, apa salahnya? Si kurir tidak mungkin berani memanipulasi, apalagi sudah ada nama masing-masing tertera di tiap amplop. Amplop itu tetap dari saya meskipun saya kirim lewat pos, misalnya. Si kurir (dalam hal ini si X) hanyalah pengantar saja.
Akhirnya saya keluar ruangan. Ternyata di luar seluruh karyawan sudah berbisik-bisik sambil memasang wajah tegang. Mereka rupanya sudah tahu tentang apa yang terjadi di dalam ruangan saya. Si X apalagi. Mukanya pucat. Dia mungkin merasa punya andil atas kejadian ini. Dia merasa mungkin akan saya panggil. Tapi nanti lah. Saya tahu dia tidak bersalah. Saya justru memanggil karyawan senior atasan langsung dari karyawan yang menemui saya tadi. Karena saya yakin si karyawan pasti berkonsultasi sebelum atau sesudah dia menemui saya.
Ternyata benar. Si karyawan rupanya sudah ngomel-ngomel kepada atasannya sejak ia menerima amplop dari si X. Dari sang atasan saya tahu bahwa memang dugaan saya tidak keliru. Alasannya menemui saya tadi memang ada dua. Pertama, sebagai karyawan senior dia tidak rela insentifnya sama atau lebih rendah dari karyawan junior. Terlepas dari si junior terlibat langsung dalam proyek ini. (Ini berarti dia menanya ke semua orang berapa jumlah insentifnya. Padahal maksud saya memberikan dalam amplop tertutup supaya tidak ada cemburu-cemburuan seperti itu). Kedua, dia merasa tidak pantas karyawan junior yang membagi insentif itu kepada karyawan senior. Dia merasa lebih berhak membagikannya.
Jadi jika saya simpulkan,pikiran karyawan tersebut adalah: senioritas diatas segalanya. Senior berhak mendapatkan lebih daripada junior. Dalam segala hal. Apa dan bagaimananya tidak penting. Yang penting hanya satu: senioritas!
Saya langsung teringat kepada sebuah anekdot yang pernah saya baca di sebuah majalah. Begini: Seorang bawahan protes kepada atasannya karena tidak pernah dipromosikan. Padahal ia sudah bekerja selama 20 tahun. Si boss menjawab,"Kamu memang sudah bekerja di sini selama 20 tahun. Tapi dalam pandangan saya kamu bukan seorang karyawan yang berpengalaman 20 tahun. Kamu adalah seorang karyawan dengan pengalaman 1 tahun yang diulang sebanyak 20 kali....."
Bagaimana akhir cerita saya? Setelah emosi berlalu dan pikiran jernih datang, si karyawan terlihat malu setiap berpapasan dengan saya. Mungkin dia sadar tindakannya terlalu berlebihan. Atau atasan dan rekan kerjanya berhasil memberikan pengertian kepadanya, saya tidak tahu. Sebagai atasan yang baik, tentu saya tetap bersikap seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa antara kami. Tapi saya jadi tahu bahwa dia adalah tipe karyawan dengan pengalaman 1 tahun yang diulang sekian kali.....
Pesan moral cerita ini: jangan pernah sekalipun anda menepuk dada sebagai yang paling senior di kantor, apalagi jika anda berbicara dengan atasan anda!
Selasa, 10 Juni 2008
Meneropong Dompet Teman....
Urusan ini sengaja saya angkat sebagai judul perdana karena masalah uang alias duit memang merupakan hal yang paling sensitif di kantor. Nggak jarang karena masalah pembagian rejeki (dalam artian duit) yang dianggap tidak adil oleh seseorang atau sekelompok orang membuat stabilitas dan kenyamanan kerja di kantor jadi tidak menyenangkan.
Apa ajalah. Gaji, Insentif, Bonus, Honorarium dan lain sebagainya. Pokoknya asal urusan duit, bisa bikin ribut. Minimal bisik-bisik sambil senyum sinis. Kayak, "Eh, kok si anu udah bisa beli rumah ya? Padahal jabatannya lebih tinggi saya. Kerja juga lebih lama si anu daripada dia..." Atau yang kayak, "Kok dia uang lemburnya sama ama gua? Perasaan gua lebih sering pulang telat deh..." Atau, "Pantesan divisi itu sering ketawa-ketawa, banyak "sabetan" sih...." Ada juga, "huh, baru berapa bulan pegang jabatan udah ganti mobil. Pasti uang kantor tuh...."
Sounds familiar? Pastinya. Karena di tiap kantor hampir pasti ada orang yang suka ngomong seperti itu. Kalau di kantor anda tidak ada, bersyukurlah. Karena kantor anda udah terhindar dari satu masalah dasar. Tapi kalau ternyata ada, terimalah sebagai romantika dunia kantor.
Orang alim berkata bahwa "rejeki itu udah ada namanya. Rejeki buat si A nggak akan jatuh ke tangan si B. Begitu juga sebaliknya." Dengan prinsip dasar seperti itu, apapun yang diperoleh rekan sebelah meja anda, tidak akan membuat anda gusar. Meskipun dia kejatuhan emas segede gajah, anda pasti tidak akan bergeming, ngiler apalagi tersenyum sinis.
Coba pikir ulang sebelum mengomentari teman yang kayaknya lebih beruntung ketimbang anda. Jangan-jangan dia dapat warisan, jangan-jangan dia punya bisnis sampingan yang lagi dapet proyek besar, jangan-jangan mertuanya kaya, jangan-jangan istrinya petinggi perusahaan besar, jangan-jangan dia baru dapat kredit dari bank, jangan-jangan mobil barunya nyicil dan sejuta "jangan-jangan" lain. Anda toh nggak tau secara persis apa dan bagaimana kehidupan rekan kerja anda diluar kantor secara 100 %. Kecuali rekan kerja itu istri atau suami anda, tentunya.
Pesan moral dari cerita ini : Jangan menghitung uang di dompet rekan kerja anda. Apalagi di rekening banknya. Nggak ada gunanya. Uang anda tetap yang ada di dompet anda. Be real!
Langganan:
Komentar (Atom)
